Menabur Angin Menuai Badai (2)

Menabur Angin Menuai Badai (2)

31 Desember 2020 0 By NKRIPOST MALAKA
Benyamin Mali

MENABUR ANGIN MENUAI BADAI (2)

Oleh:
Benyamin Mali
Diaspora Malaka Jakarta, ASLI KLETEK, Tinggal di Jawa Barat, Kerja di DKI
Jakarta

EDISI PERTAMA dari Seri tulisan ini berakhir dengan pertanyaan: “apakah benar-benar kita akan menuai apa yang kita tabur?” Pertanyaan ini perlu mendapatkan suatu jawaban yang pasti dan meyakinkan agar kita tidak berada dalam dilemma persimpangan jalan yang membingungkan dan membuat galau terkait hukum “tabur-tuai”. Lebih dari itu, jawaban itu perlu dan penting agar kita tidak jatuh dalam sikap ‘menghakimi’ dan ‘mengutuki’ tanpa dasar semua orang yang punya bakat, hobby, dan kebiasaan “menabur angin”.

Menjawabi pertanyaan itu dalam konteks renungan tutup-buka tahun, saya mau menganalisis peribahasa di atas dari sudut pandang ajaran iman Kristiani berdasarkan Alkitab dan ajaran Gereja. Mohon kritik dan koreksi, kalau analisis guru agama ini miring dan mencong-mencong.
Hukum Tabur-Tuai
Pengalaman manusia sepanjang masa mengajarkan bahwa hukum tabur-tuai itu adalah hukum alam, hukum sebab-akibat, yaitu bahwa segala sesuatu di bawah kolong langit ini punya ‘alasan dan sebab’-nya, yang menghasilkan suatu “akibat menjadi sebab dengan menghasilkan akibat berikutnya sehingga menjadi sebab-musabab-yang-bertali-temali”: A mengakibatkan B, B mengakibatkan C, C mengakibatkan D, dan seterusnya. Maka jawaban atas pertanyaan “apakah benar-benar kita akan menuai apa yang kita tabur?”, hukum alam – sebagaimana kita alami sehari-hari – menjawab: “YA BETUL!”, sebagaimana terungkap dalam pepatah “bermain api, terbakar… bermain air, basah”. Tidak mungkin TIDAK, kendatipun kita tidak tahu persis “KAPAN” waktunya tiba. Bisa cepat, bisa juga lama bertahun-tahun. Kecuali itu, apa yang kita tabur menentukan secara pasti apa yang akan kita tuai. Menabur benih padi, akan menuai padi, dan bahagialah orang seisi rumah. Menabur benih rumput, akan menuai rumput, galau dan sedihlah orang seisi keluarga, dan rumah kita berubah seketika menjadi “rumah hantu dan kuntilanak”.

ARTIKEL TERKAIT: MENABUR ANGIN MENUAI BADAI EDISI (1)


Ada ‘sesuatu’ yang lain dalam hukum tabur-tuai ini. Perhatikan! Apabila Pak Tani menaburi sawahnya dengan benih padi, rerumputan pun ikut tumbuh bersama padi-padi itu, bahkan lebih subur dari padi (Ingat perumpamaan Yesus: “Ilalang di antara Gandum” dalam Matius 13: 24-30). Sebaliknya, bila saja Pak Tani menaburi ladang atau sawahnya dengan benih ilalang, tak sebatang pun padi tumbuh di antara ilalang itu. Aneh tapi nyata.

Mengikuti jalan pikiran hukum alam ini, bibir kita serta-merta akan menggosip bahkan menghakimi dan mengutuki orang-orang yang punya bakat, hobby dan kebiasaan “menabur angin” sambil berharap agar secepatnya alam merancang dan menimpakan badai atas mereka, entah badai angin puting beliung berkepanjangan atau badai Tornado yang menghanyutkan segala. Sadis memang!

Namun, kita lupa akan kenyataan yang langsung menantang kebenaran hukum alam dan hukum sebab-akibat itu. Kenyataan apa? Kenyataan begitu banyaknya orang-orang-baik yang menabur kebaikan dalam hidupnya dengan perbuatan-perbuatan baik, bersikap hidup adil dan beradab, memperjuangkan nasib banyak orang dengan jujur dan ikhlas, hidup penuh ugahari dan berkanjang, namun sangat kerap mengalami hal-hal tragis dalam hidupnya. Sebut saja sebagai contoh para MARTIR dalam Gereja, sejak Stefanus, Martir pertama dalam Gereja Kristus. Para pejuang hak-hak asasi manusia, para pembela kebenaran dan keadilan, para wartawan yang membongkar kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tindakan ketidakadilan dan penindasan, dalam lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara. Menghadapi kenyataan ini, kita paling-paling hanya berucap: “Kasihan! Dia orang baik. Kenapa dia diperlakukan sedemikian tidak manusiawi? Kenapa dia dipenjarakan? Kenapa Tuhan seolah “diam saja” dan membiarkan tragedi ini menimpa dia. RIP…RIP…RIP

Jadi, hukum alam “tabur-tuai” membekaskan dalam memori kita suatu paradoks kehidupan penuh misteri: di satu pihak kita mengatakan: “Wajarlah jika badai itu datang menimpa mereka yang berbakat, berhobby, dan ketagihan menabur-angin”; namun di pihak lain, kita mengatakan “Tidaklah wajar dan sulit diterima akal sehat, jika hukum tabur-tuai itu menimpa mereka yang menyalakan pelita di tengah kegelapan, dan menabur garam di dalam masakan,” mengikuti ajaran Yesus dalam Matius 5:13-16 tentang “garam dan terang dunia”.

Hukum Tabur-Tuai dalam Pandangan Iman Kristiani

Dalam seri pertama tulisan ini, saya mengemukakan letak akar terdalam makna dari peribahasa “Menabur Angin Menuai Badai” pada hakikat “MANUSIA” sebagai makhluk yang diciptakan dari “HUMUS”: “TANAH, DEBU TANAH”, kendatipun Alkitab mengatakan bahwa manusia itu diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah” (IMAGO DEI), dan merupakan “puncak, mahkota” dan “pusat” seluruh ciptaan. Dalam seri 2 ini saya mau meneruskan analisis makna peribahasa “Menabur Angin Menuai Badai” ini dalam perspektif ajaran iman Kristen.
Ajaran Kitab Kejadian tentang Manusia

Hukum “tabur-tuai”, terkhusus “tabur angin tuai badai” terkait erat dengan keterciptaan manusia dari “tanah, debu-tanah” (Latin: HUMUS). Dibuat dari “debu-tanah” mengandung arti bahwa dalam diri manusia terdapat unsur-unsur dari bumi ini. Itulah sebabnya, betapapun mulianya martabat manusia sebagai makhluk kesayangan Allah – lantaran diciptakan secara khusus menurut “gambar dan rupa Allah”, namun manusia itu makhluk yang fana, tidak kekal, tidak sempurna, serta terbatas, rapuh, hina, lemah tak berdaya dari dan dalam dirinya sendiri (yang menggambarkan manusia sebagai “ENS CONTINGENS”)– lantaran dibentuk dari tanah, tanah liat, abu atau debu, dan akan kembali lagi menjadi tanah. Ia sangat bergantung pada Allah Penciptanya. Ia diciptakan dari suatu materi tak bernyawa (debu tanah) yang tidak mempunyai kehidupan dalam dirinya sendiri. Itulah yang digambarkan dengan kata Ibrani: “ADAM”, yang berarti: “tanah, debu” dan “ADAMA”, yang berarti: “berasal dari tanah, debu”. Ia mempunyai hubungan yang erat dengan tanah. Bila dia hanya mengandalkan daya kekuatannya sendiri, ia akan menjadi “debu tanah kembali”.

Ia baru berarti dan hanya berarti serta patut disebut “MANUSIA”, karena Allah menghembuskan “nefesy haya” atau “nafas hidup” ke dalam hidungnya. Oleh “nefesy haya” dari Allah, debu tanah yang tak bernyawa itu menjadi “makhluk hidup”. Ini berarti, manusia dalam hidupnya secara fundamental bergantung pada Allah, bagaikan sebuah produk dari tanah (mis. priuk) bergantung pada si pembuatnya (bdk. Yes 45:9; Yes 64:8; Mzm 90:3). Bisa kita bayangkan di sini nasib tragis dan akibat buruk yang (akan) dialami manusia, bila ia meninggalkan Allah dan mau berdiri sendiri lantaran mengandalkan daya kekuatannya sendiri saja.

Dalam Kitab Kejadian 1:26-31 dan Kejadian 2:4b–3:24, manusia digambarkan sebagai makhluk kesayangan Allah, yang dilengkapi dengan segala sesuatu yang perlu bagi kehidupannya. Ia adalah PUNCAK piramida penciptaan, makhluk ciptaan yang paling langsung berhadapan dengan Allah. Di dalam dirinya, seluruh ciptaan lain dihubungkan kembali dengan Allah Pencipta. Ia diciptakan TIDAK MELALUI FIRMAN atau PERINTAH ALLAH sebagaimana terjadi pada ciptaan-ciptaan lain, tetapi melalui suatu KEPUTUSAN KHUSUS secara meriah. Ia diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah”. Itu berarti bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi PARTNER DIALOG ALLAH yang bebas. Manusia itu diberkati. Apa saja yang diterima oleh manusia diperolehnya sebagai berkat dari Allah. Dan akhirnya, manusia ditetapkan sebagai TUAN atas segala ciptaan, supaya ia menaklukkan segalanya dan berkuasa.

Namun dalam nas yang sama, Alkitab melukiskan bahwa makhluk kesayangan Allah itu TIDAK SETIA kepada Allah; ia bersalah terhadap Allah dengan tidak mematuhi perintah Allah. Dosa dan salah ini merusak situasi kehidupan bahagia yang disediakan Allah baginya, sekaligus merusak dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Kejatuhan dalam DOSA itu dikisahkan langsung pada bab 3 Kitab Kejadian, yang mengakibatkan mereka diusir dari Taman Eden.

Kenyataan ‘dosa’ membuktikan adanya kecenderungan-kecenderungan yang bersifat negatif-destruktif dalam diri manusia di samping kecenderungan positif untuk selalu terarah kepada Allah, lantaran dia diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah”. Dengan dan dalam ‘dosa’, manusia menjauhkan diri dari Allah. Akibatnya, ialah dia menderita dan harus berjuang melawan penderitaan-penderitaan yang lahir akibat dari dosanya itu dan dari keterbatasan-keterbatasannya. Penderitaan ini tidak hanya sebatas pada keduanya (Adam dan Hawa), melainkan terus berkembang melahirkan kejahatan-kejahatan lain, pertama tampak dalam diri kisah “Kain membunuh adiknya Habel”, lalu seterusnya tampak dalam keturunan-keturunan mereka hingga Tuhan memutuskan “menurunkan hujan yang mengakibatkan AIR BAH yang menghanyutkan segala sesuatu”, hingga dewasa ini dalam diri seluruh umat manusia.

Dalam konteks “Menabur Angin Menuai Badai”, kesimpulan kita jelas, yaitu bahwa “badai yang dituai” itu adalah konsekuensi logis dari DOSA “menabur angin” yang dilakukan manusia, oleh karena ia tidak mampu melawan bakat, hobby, minat, kebiasaan, dan kecenderungan negatif-destruktif yang bersifat dosa dalam dirinya. Dan hal ini, dalam dunia modern dewasa ini, dosa itu bisa terjadi di semua bidang kehidupan: ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan (i-pol-ek-sosbud-hankam), dan dalam meniti karier, dalam bisnis, dalam pergaulan insani sehari-hari, juga dalam keluarga.
Dengannya, manusia gagal melakoni kedudukan dan perannya sebagai “gambar dan rupa Allah” dan sebagai “partner Allah” dalam menciptakan suatu dunia kehidupan yang manusiawi selaras kehendak Allah.

Pertanyaan kita ialah “Apakah Allah yang kita imani dalam iman Kristiani adalah sosok seorang HAKIM yang mencatat dengan teliti semua detail DOSA kita (termasuk dosa “menabur angin!”), menyimpannya dengan rapi di laci mejanya, lalu pada waktunya yang tepat SIAP mendakwa kita dengan vonis yang tidak bisa ditawar-tawar?”

Jawaban atas pertanyaan ini akan dijawab dalam seri 3 tulisan ini sekaligus merupakan PENUTUP renungan tutup dan buka tahun 2020 – 2021.

Shalom. Selamat Hari Raya Natal 2020 dan Bahagia Tahun Baru 2021. EMMANUEL!