Siap Menang, Siap Kalah

Siap Menang, Siap Kalah

7 Januari 2021 0 By KORPS Nusantara
Foto - Keterbukaan Informasi Publik dan KPU Melayani ( Refleksi atas penghargaan sebagai lembaga informatif 2019)
Agus Ola Paon

Siap Menang, Siap Kalah

oleh: Agus Ola Paon (ASN KPU Provinsi NTT)

Slogan siap menang, siap kalah populer saat pertama kali diselenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada 2004. Bukan berarti slogan ini baru ada saat itu, namun KPU  periode itu menjadikannya sebagai slogan karena untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. KPU memandang perlu menggemakan slogan ini untuk membangun dan menciptakan sportivitas di antara pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sampai dengan saat ini pesan dari slogan ini masih sangat relevan untuk diterapkan pada pemilihan pemimpin level apa saja.

Rabu 9 Desember 2020, pemilihan serentak telah dilaksanakan melalui pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Masing-masing tim pasangan calon telah mengantongi hasil perolehan suara melalui saksi yang diutus pada setiap TPS. Euforia kemenangan telah ditunjukan beberapa pasangan calon yang dilakukan dengan jumpa pers atau pawai kemenangan. Namun  akhir dari proses ini tetap harus menanti hasil resmi yang ditetapkan oleh KPU setempat.

Tahapan Pemilihan yang cukup panjang sejak 2019 menjadi  penantian tersendiri bagi setiap peserta pemilihan untuk memetik hasil perjuangan dengan harapan memenangkan kompetisi pemilihan 2020. Sesuatu yang wajar dan sah-sah saja jika masing-masing pasangan calon mematok target menang, dan itu menjadi motivasi yang mendasari dan mendorong pasangan calon  berjuang keras mulai dari proses pencalonan hingga pada pemilihan. Yang jelas tak ada pasangan yang ingin maju untuk kalah, dan  menerima kekalahan bukanlah hal gampang  dalam sebuah kompetisi politik  untuk merebut kekuasaan. Namun sebagai negara demokrasi yang terus berjuang membangun budaya politik dan demokrasi, maka kita perlu optimis bahwa kita dapat membangun budaya siap menang dan siap kalah  dalam kehidupan bangsa kita.

Menyikapi hasil

Mohammad Affan Pengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2014) menyebutkan bahwa dalam pendekatan Psikologi Sosial, dikenal teori atribusi untuk melihat kecenderungan setiap orang menyikapi kemenangan dan kekalahan. Menurut teori ini, seseorang atau kelompok yang memperoleh kemenangan cenderung melakukan atribusi internal yaitu, upaya untuk merasionalisasi kemenangannya atas dasar kemampuan dan usaha yang dilakukannya. Orang yang menang, dinyatakan atau tidak, langsung atau tidak langsung, akan memberi pengakuan dirinya lebih baik dan lebih unggul ketimbang lawannya.

Sementara pihak yang kalah cenderung melihat kekalahannya melalui atribusi eksternal. Yaitu mencari-cari faktor eksternal yang dianggap memicu kekalahannya, misalnya karena sistem, situasi, kecurangan, dan sebagainya. Faktor eksternal ini bisa betul-betul terjadi, tetapi sangat mungkin juga sengaja diadakan untuk tidak membenarkan kekalahannya.

Menurut Mohammad Affan, kecenderungan seperti itulah yang tampak dalam ajang kompetisi politik di Indonesia. Jika dirunut, fenomena semacam ini dapat ditemukan korelasinya dalam budaya masyarakat. Kalah, dalam konstruksi budaya kita, dioposisi-binerkan dengan menang. Kalah dipersepsi sebagai suatu momok, memalukan, kerendahan, dan semacamnya. Sedangkan menang adalah kepuasan, tujuan akhir, puncak kejayaan, dan segala macam euforia. Konsekuensinya, semua orang berlomba meraih kemenangan dan tidak siap menerima kekalahan.

Dalam kaitan inilah Affan (2014)  mengusulkan agar  perlu meredefinisi makna menang-kalah yang tidak bersifat dikotomis. Tetapi meletakkan keduanya dalam sebuah proses korelatif serta membingkainya dalam hubungan dialogis, bukan konflik. Karena menang dan kalah merupakan bagian dari esensi kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan berjalan silih berganti. Tidak ada kemenangan atau kekalahan yang abadi.

Upaya melakukan redefinisi makna  tersebut  bisa jadi gampang dalam konsep tetapi sulit dalam implementasi, sehingga membutuhkan waktu dan proses  serta patisipasi semua pihak, baik itu pasangan calon, tim pemenangan dan partai pendukung  sehingga sama-sama menyikapi hasil pemilihan  dalam  cara pandang yang sama.

Pilih gugat

Pendekatan secara psikologis yang dikemukakan diatas memang berdasar, namun pendekatan secara politis tentu berbeda. Soal kalah dan menang dalam ranah politik  bisa berlangsung panjang dan alot. Berdasarkan beberapa pengalaman Pemilihan sebelumnya, kesiapan peserta pemilihan  menyikapi hasil pemilihan berujung pada sengketa hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi terlebih yang pesertanya hanya dua pasangan atau head to head. Secara regulasi  memang inilah saluran resmi  yang diatur untuk setiap pasangan calon dalam mencari keadilan.

Pilihan menempuh gugatan ke Mahkamah Konstitusi adalah hak setiap pasangan calon. Motivasi untuk menggugat ini juga banyak didorong faktor eksternal yang dianggap memicu kekalahannya, misalnya karena sistem, situasi, kecurangan, dan sebagainya. Sekalipun demikian  ada kasus sengketa di Mahkamah Konstitusi yang akhirnya membuktikan adanya  kecurangan yang bersifat terstruktur, sismatis dan masif seperti kasus Pilkada jawa Timur 2008.  .

Gugatan di Mahkamah Konstitusi juga mempunyai pengaturan yang sifatnya  membatasi dengan mengacu pada selisih suara. Sesuai dengan Pasal 158 UU Nomor 1 Tahun 2015 pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi  bisa dilakukan apabila memenuhi syarat sebagai berikut untuk Pemilihan Provinsi :

  1. Provinsi Provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen.
  2. Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maka maksimal selisih suara1,5 persen.
  3. Provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-12 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
  4. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.

Untuk Pemilihan Kabupaten/Kota

  1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maksimal selisih suara 2 persen.
  2. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
  3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih  suara1 persen.
  4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.

Pengalaman beberapa pemilihan sebelumya seperti Pilkada Serentak 2016, dari ratusan permohonan sengketa pilkada, hanya 7 pilkada yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Ratusan permohonan lainnya yang diajukan kandas karena tidak memenuhi syarat sesuai Pasal 158 di atas.

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat menjadi langkah terakhir setiap pasangan untuk mencari keadilan dan diharapkan berjiwa besar untuk menerima putusan tersebut. Bagi yang gugatannya ditolak, maka putusan Mahkamah Konstitusi seakan memperkuat keputusan KPU, dan bagi yang gugatannya diterima seluruhnya atau sebagian, maka akan ditindaklanjuti dengan proses sebagaimana yang dimohon atau sesuai putusan Mahkamah  seperti penghitungan  ulang atau pemilihan ulang pada sebagian atau seluruh Tempat Pemungutan Suara.

Dengan demikian siap menang dan siap kalah melalui sengketa di Mahkamah Konstitusi juga perlu siapkan secara baik oleh tim pasangan calon. Ketika pasangan calon tertentu menang dalam perhitungan KPU dan setelah digugat terdapat keputusan  seperti diatas yang ujungnya merubah kemenangan maka patut untuk siap menerima, begitu juga dengan pasangan yang kalah dalam perhitungan KPU, kalah lagi di Mahkamah Konstitusi  maka siap menerima  sebagai sebuah keputusan yang bersifat final dan mengikat.

Harapan

Pemilihan sebagai sebuah proses untuk mendapatkan pemimpin daerah secara demokratis harus dapat dibaringi dengan kesiapan dalam menerima hasil. Membangun kesiapan menerima kemenangan dan kekalahan dalam sebuah proses pemilihan hatrus menjadi tanggung jawab bersama pasangan calon dan tim kampanye pasangan calon, partai politik pengusung   serta  perlunya kesepahaman bersama mengingat dalam banyak pengalaman pasangan calon menerima  kekalahan namun tidak diikuti tim kampanye atau tim sukses pasangan calon.

Kita berharap pada saat KPU mengeluarkan keputusan resmi hasil Pemilihan 2020, semua calon dan tim sukses pasangan  bersikap legawa; siap menang dan siap kalah. Menjadi sebuah moment  indah dan bersejarah  jika saat pengumuman KPU, rakyat  melihat para peserta, politisi pendukung  saling berjabat tangan mengucapkan selamat satu sama lain. Tidak salah kiranya kita semua  belajar dari pertandingan  olahraga  seperti Bola Kaki, yang menjunjung sikap sportivitas dan fair play. Kita pernah  saksikan, ketika permainan usai, setiap pemain berjabat tangan, saling sapa dengan penuh keakraban, bahkan bertukar kostum tanda persahabatan, muda-mudahan  peserta pemilihan 2020 bisa melakukan hal ini. Semoga. (KPU)