Komunitas Lorosae Awali 2021 Launching Kegiatan Perdana Buku Lapak dan Bedah Buku
11 Januari 2021Nkripost.com, Belu – Di awal tahun 2020, tepatnya pada tanggal 09 Desember 2021 Komunitas Lorosae melakukan kegiatan perdana. Kegiatan yang dilakukan adalah membuka lapak yang berisi buku bacaan gratis yang disebut mereka sebagai #BukuLapak dan melakukan Diskusi dan Bedah Buku yang berjudul “Melawan Oligarki PILKADA 2020”, serta launching buku sekumpulan puisi berjudul “Tanda Mata”, hasil tulisan Mario Kali salah satu anggota komunitas Lorosae yang baru saja terbit.
Kegiatan perdana ini diikuti oleh beberapa komunitas yang ada di Kabupaten Belu dan TTU. Di antaranya ada Komunitas Batar Da’an, Komunitas Foho Rai Festival, Komunitas Pohon Asam, Komunitas Pensil, Komunitas CB Belu, Komunitas Trash Hero Belu dan Komunitas Sahabat Kreatif Biinmafo.
Lapak berisi berbagai buku bacaan dibuka sejak pukul 16.00 WITA di halaman Plaza Pelayanan Publik Timor – Atambua. Namun karena gerimis yang ada, lapak kemudian dipindahkan ke teras Plaza Pelayanan Publik, dan diskusi Bedah Buku Dilakukan pada pukul 18.00 WITA sampai pukul 20.30 WITA.
Rangkaian kegiatan dilakukan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi, semua yang datang diwajibkan memakai masker, duduk berjarak serta mencuci tangan di tempat yang sudah disediakan oleh panitia.
Komunitas Lorosae merupakan komunitas yang baru saja dirintis oleh Jejen Aryanto, Ketua komunitas Lorosae dalam sambutannya menyampaikan bahwa hal ini berangkat dari keresahan mereka akibat rendahnya minat baca di Kabupaten Belu.
Tanpa melihat data pun dapat diketahui bahwa minat baca di Belu sangat rendah, hal ini bisa diukur dari pengunjung di Perpustakaan daerah yang dalam sehari bahkan tidak mencapai empat orang dari sekian banyak pelajar di kota Atambua. Di kota saja seperti itu, apalagi di daerah yang lebih terpencil. Rendahnya literasi juga dapat ditunjukkan dengan berbagai Berita bohong atau Hoax dan ungkapan kebencian atau Hate speech yang memenuhi linimasa grup Belu Bebas Bicara yang seharusnya bisa menjadi sebuah ruang diskusi yang kondusif bagi publik.
“Rencana perintisan komunitas sudah dilakukan sejak Juli 2020, tapi karena kami yang merencanakan hanya empat orang dan kebetulan semua masih sibuk dengan kuliah dan pekerjaan, ada pandemic Covid-19 serta belum ada yang menetap di Belu maka kami memutuskan untuk launching kegiatan pertama di awal tahun. Sebab bertepatan dengan liburan da nada founder kami yang sudah menetap di Belu.”, ungkap Jejen yang juga adalah ketua komunitas Lorosae.
Kegiatan Bedah Buku, tambah Jejen, dan diskusi yang dilakukan hari itu, menghadirkan tiga orang pembicara. Jejen Aryanto dan Joseph Kanisius Bau yang adalah Aktivis GMKI Cab. Kupang, dan Virginia Rosa da Silva yang adalah Aktivis GMNI Cab. Kupang. Diskusi dipimpin oleh Elisabeth Afriani Costa yang adalah Co-Founder BII NTT.
Menariknya keempat orang ini adalah Founder Komunitas Lorosae. Sebelum memulai diskusi, Any menungkapkan bahwa salah satu alasan mereka membedah buku ini adalah karena hari itu tepat sebulan Pilkada 2020 telah dihelat dan buku ini dapat menjadi pisau analisis yang digunakan untuk membaca Pilkada dari sisi yang lain, tidak hanya sebatas pada pesta demokrasi.
“Kami juga sengaja menghadirkan para pemuda dengan latar belakang yang sama sebagai pembicara, ini semata-mata untuk memotivasi para pemuda bahwa umur tidak membatasi seseorang untuk tampil berbicara ataupun berkarya. Namun untuk menghadirkan berbagai pandangan dalam diskusi, kami tetap mengundang kalangan pemuda dari berbagai komunitas dengan latar belakangnya masing-masing, serta akademisi terkait untuk saling berbagi”, ujarnya.
Dalam diskusi yang berlangsung, Jejen Aryanto yang juga menjadi salah satu pengurus PARINDRA mengungkapkan alasan penulis menuliskan buku tentang Oligarki Pilkada 2020. Berangkat dari keresahan penulis tentang Pilkada 2020 yang melibatkan 270 daerah pemilihan, dengan rincian 9 daerah pemilihan Gubernur, 224 daerah pemilihan Bupati dan 37 daerah pemilihan Walikota.
Banyaknya daerah pemilihan ini tentu bisa saja membuat keramaian dan tidak menutup kemungkinan meningkatnya kasus Covid-19 yang akan berdampak pada resesi ekonomi. Dalam buku tersebut, penulis mencoba menakar dan membuktikan bagaimana PILKADA 2020 menjadi sebuah ajang pematangan dinasti politik secepat mungkin, sehingga meski sekolah dan rumah ibadah bisa ditutup karena Covid-19 namun Pilkada yang melibatkan lebih banyak kerumunan apalagi dengan kampanye yang dilakukan selama 81 hari tidak bisa ditunda samasekali.
“Penulis juga mencoba menghubungkan dinasti politik yang sedang dibangun melalui aktor-aktor yang ikut dalam kontestasi Pilkada 2020. Ini membuat Pilkada 2020 menjadi sangat unik dan menarik. Buku ini juga memaparkan fakta bagaimana Pilkada menjadi framing kepentingan oligarki di Indonesia”, tambah Jejen.
Selain itu, Virginia Rosa da Silva menambahkan bahwa buku yang dibedah kali ini mencoba membahas data di balik alasan Pilkada 2020 menjadi ajang kontestasi kepentingan oligarki. Berdasrkan hasil kajian litbang Kemendagri, Pemilihan Walikota atau Bupati menghabiskan dana kampanye sebesar 20 – 30 M, Gubrenur sebesar 20 – 100 M, bahkan daerah Jawa minimal 100 M. Sedangkan data total harta kepala daerah hanya mencapai 6,7 M, ada yang nol bahkan negatif.
“Ini mengakibatkan terjadinya bargaining dengan para saudagar politik untuk mendanainya. Dengan begitu terjadi benturan kepentingan rakyat dan elite”, pungkas Aktivis GMNI Cab Kupang ini.
Buku ini juga, jelas Vivin, bagaimana kepentingan kelompok 1% ini masuk ke dalam sistem dengan mengubah berbagai kebijakan, mulai dari “President Treshold” yang selalu bermasalah tiap kali diadakan pemilu, sampai pada sahnya UU kontroversial lain yang menunjukkan keberpihakan kebijakan bukan untuk kepentingan rakyat.
“Oligarki sebagai sistem hubungan kekayaan dan otoritas serta upaya mempertahankan keduanya. Sederhananya merupakan fusi antara kekuatan ekonomi dan politik yang memungkinkan adanya konsentrasi akumulasi kekayaan.” pungkas salah satu Alumni Forum Indonesia Muda yang akrab disapa Vivin itu.
Selain itu, beber Vivin, salah satu poin kritik terhadap isi buku yang disampaikannya adalah solusi untuk melawan oligarki di Pilkada sesuai judul buku yang terlalu utopis untuk dilakukan dan dijelaskan dengan tidak begitu spesifik.
Di sisi lain, Joseph Kanisius Bau menyampaikan hasil telaahnya bahwa Buku tersebut menjelaskan dengan detail, bagaimana perubahan tipikal oligarki Indonesia di masa orde baru dan sesudah orde baru. Sebelum orde baru Oligarki di Indonesia merupakan jenis oligarki sultanistik, dimana ada oligarki utama yang melindungi oligark-oligark di bawahnya.
“Sedangkan setelah orde baru, menjadi oligarki penguasa kolektif yang memiliki kekuasaan dan bekerjasama mempertahankan kekayaan dengan memerintah suatu komunitas. Reformasi 1998 hanya membawa demokrasi di Indonesia memasuki babak baru Hegemoni oligarki yang makin menggila”, tandasnya.
Tambahnya, solusi yang ditawarkan oleh penulis untuk melawan oligarki Pilkada 2020 maupun pilkada-pilkada lain yang akan datang, yakni rakyat sendirilah yang harus berpartisipasi aktif dalam mengusung pemimpinnya untuk melahirkan pemimpin yang betul-betul berasal dari rakyat.
“Salah satu masalah dalam pemilu adalah politik uang yang menguras dompet, saat dana kampanye tidak ada maka jalan terbaik adalah mendapatkan donatur politik dan jika terpilih nanti bekerja untuk mereka”, katanya.
Untuk mengatasi hal ini, tambahnya, penulis memberikan solusi bahwa rakyat dapat bergotong royong untuk mengumpulkan uang meski hanya sedikit dalam kisaran puluhan ribu saja per kepala.
“Menurut penulis, melihat banyaknya jumlah rakyat Indonesia ini, maka sangat memungkinkan bahwa dana yang terkumpul tersebut mampu untuk membiayai para calon kepala daerah yang akan datang dan tidak ada kesempatan masuknya kepentingan oligarki”, tambah Ketua Himapro Ilmu Politik Undana yang biasa disapa Kenny itu.
Dalam diskusi yang dilakukan, Blas Making dari komunitas Sahabat Kreatif Biinmafo berpendapat bahwa untuk mengakhiri politik uang dan memperbaiki buruknya sistem politik kita sekarang, cara terbaik yang dapat dilakukan sebagai orang muda adalah tidak boleh diam.
“Sebagai pemuda kita harus terus mengkampanyekan bagaimana etika berdemokrasi yang baik dan benar demi membuka pemahaman masyarakat”, ujar Blas.
Senada dengan itu, Apri dari komunitas Pensil menambahkan bahwa salah satu cara yang bisa dilakukan pemuda untuk meminimalisir mahar politik adalah dengan aktif memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
Yohanes Nagi Due, penanggung jawab kegiatan perdana ini mengatakan bahwa ke depan nanti membuka Lapak Buku adalah kegiatan mingguan yang akan rutin dilakukan, di kota Atambua maupun safari Literasi nantinya. Buku yang disediakan mulai buku anak-anak sampai pengetahuan umum, ditemani dengan KopBar atau Kopi Berbayar sebagai salah satu bentuk fundrising komunitas ini.
“Salah satu tujuan kami mengadakan kegiatan #BukuLapak adalah memanfaatkan fasilitas umum yang ada di kabupaten Belu, dan tentunya meningkatkan minat baca bagi segala kalangan”, Ungkap pemuda dari Tala yang akrab disapa Jonter itu.
Sebagai sekretariat sementara, komunitas ini juga tengah mempersiapkan rumah baca yang sedang dalam upaya pembangunan di Halilulik, Desa Naitimu Kecamatan Tasifeto Barat. Sambil menunggu proses penyelesaiannya untuk launching nanti, sejak tanggal 04 Januari lalu Komunitas Lorosae telah menerima donasi buku maupun barang yang akan mengisi rumah baca. Selain dari individu-individu , sejauh ini yang telah turut berdonasi ada Melki and Beatrix Foundation – Kefamenanu, Komunitas Sahabat Kreatif Biinmafo dan Travel Media Timor Magazine.
Vivin da Silva, salah satu founder komunitas Lorosae juga ikut menyampaikan. Bahwa tujuan pendirian komunitas ini juga adalah membangun pemahaman bagi masyarakat Belu tentang pentingnya literasi.
Bahwa literasi bukan hanya tentang buku tapi juga ada literasi digital. Bukan hanya sekedar baca dan tulis, tapi juga berbicara, menghitung, memecahkan masalah, dan lainnya. Selain berfokus pada literasi, isu yang akan menjadi fokus kami di dalam komunitas Lorosae adalah Pendidikan Politik, Gender dan Lingkungan Hidup.
“Makanya dalam kegiatan pertama kami sengaja membedah buku yang berhubungan dengan politik, sebab Politik bukanlah hal yang kotor karena dapat mengubah banyak hal dalam jangkauan yang luas. Manusia dalam sistemnya saja yang kotor, dan sebagai pemuda kita tentu perlu menempatkan diri sebagai agen kontrol untuk mengkawal setiap bentuk kebijakan publik yang ada”, tambah Vivin. (*)