Jepara Ada Apa? Bencana Beruntun Terus Melanda

Jepara Ada Apa? Bencana Beruntun Terus Melanda

21 Februari 2021 0 By NKRI POST

NKRIPOST.COM – JEPARA |Sejak musim penghujan tahun 2021 ini. Yang paling terbaru, banjir menggenangi tiga desa di Jepara yaitu Desa Kaliombo, Pecangaan, Desa Tedudan, dan Desa Sowan Kidul Kecamatan Kedung pada Rabu (17/2/2021).

Ratusan rumah di tiga desa tersebut terendam banjir. Penyebab banjir adalah pendangkalangan sungai Jarotun dan Kedung Buli. Kedua sungai itu melingkari desa yang letaknya lebih tinggi dari daratan permukiman warga.

Pada Sabtu 13 Februari 2021 lalu banjir bandang dan tanah longsor menghantam dua desa di Kecamatan Donorojo. Banjir bandang di Dukuh Tempur, Sumberejo, Donorojo, itu mengakibatkan dua rumah warga rusak.

Penyebab banjir bandang dan tanah longsor ini karena kerusakan ekosistem yang terjadi karena penebangan pohon akibatnya lahan gundul dan mudah longsor.

Sebelumnya Banjir juga melanda Desa Dorang Kecamatan Nalumsari pada 2 Februari 2021 akibat dari pendangkalan sungai BWS. Ratusan rumah warga tergenang luapan banjir selama beberapa hari sebagai akibat dari sungai BWS yang tidak bisa menampung debit air.  

Pada 25 Januari lalu banjir juga menggenangi 20 titik yang tersebar di berbagai kecamatan di Jepara. Aktivitas di pusat kota lumpuh.

Alun-alun Jepara terpaksa ditutup karena genangan air terus meninggi hingga mencapai 40-50 centimeter (cm). Penyebabnya adalah intensitas hujan yang tinggi membuat Kaliwiso tak bisa menampung debit air. Meski sudah dipasang tanggul penahan, namun tidak diimbangi dengan pengerukan atau normalisasi. Selain itu juga pompa air masih belum berfungsi.

Beruntungnya, belum ada korban jiwa dalam bencana beruntun yang menimpa kota ukir pada tahun ini.

Namun demikian banjir dan tanah longsor telah menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen dan meluluhlantakkan permukiman.

Selain itu juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik. Kerugian semakin besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan terganggu.

Banjir juga menyebabkan tambahan beban keuangan daerah, terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi parasana publik yang rusak.

Bencana beruntun ini harus mendapat perhatian khusus Pemerintah Daerah dan semua lapisan masyarakat Jepara. Apalagi Jepara menempati urutan ke-10 sebagai daerah dengan indeks risiko bencana Indonesia (IRBI) tinggi dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah dengan skor IRBI 163,20 poin.

Tingginya indeks risiko bencana di Bumi Kartini, salah satunya dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi wilayah. Jepara terdiri dari pegunungan, perbukitan dan lautan. Maka itu kebijakan kebencanaan di Jepara haruslah sebuah kebijakan yang antisipatif.

Hari ini kita masih melihat kebijakan kebencanaan di Jepara adalah kebijakan yang reaktif, dimana dilaksanakan ketika bencana telah terjadi. Untuk melakukan kebijakan kebencanaan yang antisipatif dan jangka panjang diperlukan inventarisasi masalah kebencanaan di Jepara.

Jika kita usut penyebab utama dari bencana bajir yang terjadi di Jepara adalah terdegradasinya fungsi daerah aliran sungai (DAS) sebagai akibat dari pemanfaatan lahan yang intensif dan eksploitatif disamping juga banyaknya luasan lahan kritis yang ada di Jepara.

Terdegradasinya DAS akan mengakibatkan persentase minimum dan maksimum debit air terganggu. Kondisi debit maksimum saat curah hujan tinggi akan mengakibatkan banjir di wilayah hilir. Hal inilah yang terus terjadi di Jepara setiap tahunnya.
Mendesaknya Rehabilitasi Lahan Kritis

Laporan sebuah riset yang dipublikasikan di jurnal Ecology and Society pada Agustus 2020 mengungkapkan penyebab kenapa Indonesia dilanda bencana banjir lebih sering dan lebih parah. Riset ini menyebutkan bahwa perubahan tata guna lahan yang cepat di Indonesia telah berdampak pada siklus air lokal di negeri ini, salah satu dampaknya adalah berupa banjir dan tanah longsor.

Christian Stiegler dari Bioclimatology Group di University of Göttingen yang turut menjadi anggota peneliti dalam tim riset ini mengatakan, perubahan penggunaan lahan skala besar menyebabkan pemadatan tanah, sehingga lebih sedikit hujan yang diserap oleh tanah dan air dengan cepat mengalir ke permukaan tanah.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, mencatat lahan kritis atau tandus di Jepara mencapai seluas 349,05 hektare pada tahun 2019. Data tersebut di luar wilayah hutan lindung dan hutan perkebunan milik Perhutani. Lahan kritis di Jepara sebagian besar berada di lereng gunung Muria. Yakni di wilayah Kecamatan Batealit, Keling, Mayong, dan Kembang.

Selain berada di lereng gunung Muria, lahan kritis juga terdapat di wilayah pesisir pantai Jepara. Tentu saja lahan kritis yang ada di Jepara ini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam beruntun di Bumi Kartini. Maka dari itu butuh sebuah kebijakan pencegahan bencana berupa rehabilitasi lahan kritis.

Dalam Undang undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 40 disebutkan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan kritis dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. 

Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan,  pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.

Bencana banjir dan tanah longsor yang hampir setiap tahun terjadi di Kabupaten Jepara perlu disikapi dan ditindaklanjuti dengan rehabilitasi lahan kritis oleh semua pihak. Kenapa saya katakan semua pihak? Karena ketika kita berharap pada Bupati Jepara yang saat ini berkuasa pada akhirnya akan menuai kekecewaan.

Seringkali kebijakan rehabilitasi lahan kritis ini dijauhi Kepala Daerah karena tidak populis dan dampaknya yang tidak langsung bisa dirasakan masyarakat. Dalam menghadapi bencana Kepala Daerah akan cenderung melakukan kebijakan penanggulangan ketika bencana sudah terjadi. Menyalurkan bantuan logistik dan evakuasi korban bencana. Kebijakan seperti ini terasa lebih heroik dan tentu saja menaikkan popularitas Kepala Daerah, namun tidak menyelesaikan akar persoalan.

NkriPost – Purnomo.