Ini Profil Agus Jabo, Ketum Partai Prima yang Membuat PN Jakpus Putuskan Pemilu 2024 Ditunda, Rekam Jejaknya Bikin PDIP dan Nasdem Terdiam
4 Maret 2023NKRIPOST.COM – Partai Prima yang dipimpin oleh Agus Jabo Priyono menjadi perbincangan setelah memenangkan gugatan perdata terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Atas putusan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan supaya KPU menunda tahapan Pemilu 2024.
Siapa sebenarnya Agus Jabo Priyono ?
Agus Jabo bukan orang kemarin sore dalam hiruk-pikuk panggung politik nasional.
Agus Jabo sebelumnya dikenal sebagai Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai politik yang mewadahi berkumpulnya orang-orang yang anti terhadap Presiden Soeharto di era Orde Baru.
Agus Jabo juga dikenal sebagai salah satu aktivis dalam gerakan reformasi 1998 yang berhasil melengserkan Soeharto.
Dikutip dari situs resmi Partai Prima, Agus Jabo memulai perjalanannya di dunia pergerakan dengan menjadi kader Pelajar Islam Indonesia (PII) sejak SMA hingga kuliah di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah.
Pada 1996, Agus Jabo kemudian mendirikan PRD bersama kawan-kawan seperjuangan yang berkecimpung dalam gerakan reformasi yang melengserkan Soeharto.
Adapun keanggotaan PRD sebagian besar diisi oleh para mahasiswa dan aktivis dari berbagai kelompok masyarakat yang menentang keotoriteran Soeharto.
PRD yang didirikan Agus Jabo beserta rekan-rekan seperjuangannya mengikuti Pemilu 1999.
Pemilu ini merupakan pesta demokrasi nasional pertama yang terbuka dan berlangsung secara demokratis usai rezim Orde Baru tumbang.
Setelahnya, PRD tak lagi mengikuti pemilu selanjutnya. Kini Agus Jabo beserta anggotanya masih berjuang agar bisa ikut dalam Pemilu 2024.
Kritik Mantan Ketua MK
Kecaman terhadap keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terkait proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 terus berdatangan.
Salah satunya dari Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu secara keras mengkritisi majelis hakim yang menyidangkan gugatan Partai Prima tersebut.
Bahkan Jimly menyebut majelis hakim yang menangani gugatan Partai Prima itu layak untuk dipecat.
Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) diminta turun tangan.
Menurut Jimly, gugatan yang dilayangkan oleh Partai Prima tersebut merupakan ranah hukum pemilu bukan kewenangan pengadilan perdata.
“Secara umum kita tidak boleh menilai putusan hakim karena kita harus menghormati peradilan. Tapi ini keterlaluan. Hakimnya layak dipecat. Bikin malu,” ujar Jimly, seperti yang dikutip dari Kompas.com dalam artikel berjudul ” Jimly Asshiddiqie: Tak Ada Kewenangan Pengadilan Perdata soal Pemilu, Hakimnya Layak Dipecat”.
Karena sudah menjadi sebuah keputusan, untuk melawannya maka hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum berupa banding dan bila perlu sampai kasasi ketika dinilai tidak tepat.
“Ini contoh buruk profesionalisme dan penghayatan hakim terhadap peraturan perundangan. MA dan KY harus turun tangan. Ini (hakimnya) pantas dipecat,” tegas Jimly.
Menurut Jimly hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Prima soal verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ini mencampuradukkan hukum perdata dan hukum administrasi.
“Ini campur aduk, antara perdata dan masalah administrasi. Hukum administrasi dan tata negara tidak bisa dia bedakan. Juga, soal perbuatan melawan hukum yang harus dipahami benar, (ini) oleh penguasa yang bertindak tidak adil kepada rakyat atau yang biasa. Ini dia tidak memahami,” papar Jimly.
Jimly menyebut majelis hakim PN Jakpus tersebut telah ikut campur terkait persoalan pemilu. Padahal, hal itu bukan kewenangannya.
“Ketika amar putusannya mengubah jadwal tahapan, yang bisa berdampak ataupun tidak pada penundaan pemilu, (itu) tetap bukan kewenangan pengadilan perdata untuk memutuskannya,” ujar Jimly.
Hukum perdata, ungkap Jimly, seharusnya mengurusi masalah perdata saja, yang itu adalah urusan privat.
Ketika terbukti ada kerugian dari penggugat, hakim semestinya hanya menjatuhkan sanksi perdata.
“(Pengadilan perdata) hanya membuktikan pelanggaran perdata yang dilakukan tergugat, (yang ketika terbukti lalu hakim) kasih sanksi perdata,” tutur Jimly.
Dalam perkara gugatan Prima, Jimly berpendapat hakim telah mengacaukannya dengan persoalan administrasi yang bukan kewenangan pengadilan perdata.
“Mestinya dia bilang ini bukan kewenangan saya, bukan malah dikabulkan,” kecam Jimly.
Menurut Jimly, hakim yang menangani gugatan perdata Prima tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu, serta tidak mampu membedakan urusan privat (perdata) dengan urusan publik.
“Tidak pantas hakim tidak dapat membedakan hukum perdata dan hukum publik. MA dan KY harus bertindak,” tegas Jimly.
Pengadilan perdata harus membatasi diri dengan menangani masalah perdata saja. Sanksi perdata hanya sampai pada ganti rugi.
Persoalan terkait tahapan pemilu, tegas Jimly, adalah kewenangan konstitusional Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kalau ada sengketa tentang proses (pemilu) maka yang berwenang adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan pengadilan perdata. (Kelak), kalau ada sengketa tentang hasil pemilu maka yang berwenang adalah MK,” ulang Jimly soal ranah hukum pemilu.
Karena itu, Jimly menyarankan pengajuan banding dan bila perlu sampai kasasi untuk putusan perdata PN Jakarta Pusat atas gugatan Prima terkait verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ini.
“Kita tunggu sampai inkracht. Hakim pengadilan negeri tidak berwenang memerintahkan penundaan pemilu,” tegas Jimly.
Dalam persoalan hukum, imbuh Jimly, pengadilan perdata wajib tunduk kepada UU Pemilu.