Dirgahayu Jepara, Hari Jadi Jepara Memasuki Usia ke- 472 di Tahun 2021
3 April 2021NKRIPOST.COM, JEPARA – Penetapan hari jadi suatu kota juga harus memperhatikan beberapa kriteria, antara lain: mencerminkan citra kota, mengandung nilai kebangsaan, memiliki nilai edukatif, secara historis dapat dipertanggungjawabkan, serta dapat diterima masyarakat.
Seringkali kita memperingati hari Jadi kota Jepara dengan berbagai macam kegiatan pawai maupun festival. Namun, tahukah kita awal mula penetapan hari jadi Jepara ?. Usia kota Jepara yang akan memasuki usia ke- 472 di tahun 2021 bukanlah usia yang pendek. Hampir 5 abad sejarah panjang kota Jepara terbentang. Jika kita menelusuri sejarah penetapan hari jadi Jepara, kita akan menemukan metode penyusunan hingga ditetapkannya tahun 1549 sebagai peringatan hari jadi Jepara, dengan sebuah kalimat yang menjadi simbol kota Jepara “Trus Karya Tataning Bumi”.
Seperti halnya penetapan hari jadi kota-kota di Indonesia, lazim digunakan metode dengan berpangkal pada peristiwa historis atau titi mangsa. Seperti penetapan hari jadi kota Semarang, berpangkal pada peristiwa dilantiknya Ki Ageng Pandan Arang II sebagai Bupati Semarang yang pertama pada tanggal 2 Mei 1547. Atau, dalam menetapkan hari jadi kota Ambon yang jatuh pada tanggal 7 September 1575 diambil dari peristiwa dibangunnya Benteng Portugis di Honipupu, yang oleh penduduk disebut “Kota Laha”. Hasil penetapan titi mangsa kota Ambon ini berdasarkan “Seminar Sejarah Kota Ambon”.
Penetapan hari jadi suatu kota juga harus memperhatikan beberapa kriteria, antara lain: mencerminkan citra kota, mengandung nilai kebangsaan, memiliki nilai edukatif, secara historis dapat dipertanggungjawabkan, serta dapat diterima masyarakat.
Sekelumit Cerita Ratu Kalinyamat.
Kerajaan Kalinyamat (juga dikenal sebagai Kerajaan Jepara) adalah sebuah kerajaan Jawa di abad ke-16 yang berpusat di Jepara. Baik Kalinyamat maupun Jepara awalnya adalah dua kadipaten terpisah yang tunduk pada Kerajaan Demak. Sepeninggal Pangeran Trenggana, Kalinyamat mendapatkan Jepara, Pati, Juwana, dan Rembang.
Puncak kejayaannya terjadi di pertengahan abad ke-16 ketika Kalinyamat dipimpin oleh Ratu Kalinyamat. Pada tahun 1551 dan 1574, Kalinyamat melakukan ekspedisi ke Melaka Portugis untuk mengusir Portugal dari Hindia Timur sementara meluaskan kekuasaannya ke luar Jawa, seperti Kalimantan Barat dan Pulau Bawean.
Ratu Kalinyamat (meninggal tahun 1579) adalah puteri raja Demak Trenggana yang menjadi bupati di Jepara. Ia terkenal di kalangan Portugis sebagai sosok wanita pemberani.
Nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retna Kencana, puteri Sultan Trenggono, raja Demak (1521-1546). Pada usia remaja ia dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat. Pangeran Kalinyamat berasal dari luar Jawa.
Terdapat berbagai versi tentang asal-usulnya. Masyarakat Jepara menyebut nama aslinya adalah Win-tang, seorang saudagar Tiongkok yang mengalami kecelakaan di laut. Ia terdampar di pantai Jepara, dan kemudian berguru pada Sunan Kudus.
Versi lain mengatakan, Win-tang berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Pangeran Toyib, putera Sultan Mughayat Syah raja Aceh (1514-1528). Toyib berkelana ke Tiongkok dan menjadi anak angkat seorang menteri bernama Tjie Hwio Gwan. Nama Win-tang adalah ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib.
Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa. Di sana Win-tang mendirikan desa Kalinyamat yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Ia berhasil menikahi Retna Kencana putri Sultan Demak, sehingga istrinya itu kemudian dijuluki Ratu Kalinyamat.
Sejak itu, Pangeran Kalinyamat menjadi anggota keluarga Kerajaan Demak dan memperoleh gelar Pangeran Hadiri.
Pangeran dan Ratu Kalinyamat memerintah bersama di Jepara. Tjie Hwio Gwan, sang ayah angkat, dijadikan patih bergelar Sungging Badar Duwung, yang juga mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.
Pada tahun 1549 Sunan Prawata raja keempat Demak mati dibunuh utusan Arya Penangsang, sepupunya yang menjadi adipati Jipang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat kakaknya itu. Maka, Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun berangkat ke Kudus minta penjelasan.
Sunan Kudus adalah pendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta sepeninggal raja Trenggana (1546). Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian kakaknya. Sunan Kudus menjelaskan semasa muda Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Surowiyoto alias Sekar Seda Lepen ayah Arya Penangsang, jadi wajar kalau ia sekarang mendapat balasan setimpal.
Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke Jepara. Di tengah jalan, mereka dikeroyok anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat tewas. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaga, sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan.
Menurut cerita. Selanjutnya dengan membawa jenazah Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat meneruskan perjalanan sampai pada sebuah sungai dan darah yang berasal dari jenazah Pangeran Kalinyamat menjadikan air sungai berwarna ungu, dan kemudian dikenal daerah tersebut dengan nama Kaliwungu. Semakin ke barat, dan dalam kondisi lelah, kemudia melewati Pringtulis. Dan karena selahnya dengan berjalan sempoyongan (moyang-moyong) di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Mayong. Sesampainya di Purwogondo, disebut demikian karena di tempat inilah awal keluarnya bau dari jenazah yang dibawa Ratu Kalinyamat, dan kemudia melewati Pecangaan dan sampai di Mantingan.
Ratu Kalinyamat Bertapa
Ratu Kalinyamat berhasil meloloskan diri dari peristiwa pembunuhan itu. Ia kemudian bertapa telanjang di Gunung Danaraja, dengan sumpah tidak akan berpakaian sebelum berkeset kepala Arya Penangsang
Bertapa telanjang dalam filosofi jawa artinya ratu Kalinyamat berjihad fisabilillah dengan menggunakan seluruh hartanya untuk melawan Portugis,sehingga habis seluruh hartanya.(karna tidak mungkin seorang wanita sholehah bertapa telanjang).
NkriPost-Purnomo.