SALIBKANLAH DIA!

SALIBKANLAH DIA!

17 Mei 2021 0 By NKRIPOST MALAKA

Benyamin Mali
Diaspora Malaka, Dosen Filsafat Pancasila Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya Jakarta

NKRIPOST, MALAKA- Sungguh menyegarkan bahwa dalam pidato perdananya pada Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Malaka (Senin (03/05/2021), Dr. Simon Nahak sebagai Bupati Malaka yang baru, mengajak seluruh anggota dewan untuk bekerja sama, bahu-membahu membangun Malaka. Sungguh menyenangkan pula – dan itu wajar dan sah-sah saja – bahwa beliau juga menghimbau seluruh anggota dewan yang terhormat untuk menyudahi semua perdebatan politik lantaran adanya perbedaan pilihan politis dalam Pilkada Malaka 9 Desember 2020 silam. Betapa tidak!

Ajakan dan himbauan beliau itu setidak-tidaknya mencerminkan kerendahan hati seorang Simon sebagai manusia biasa yang tidak-tahu segalanya, juga tidak-mampu melakukan segalanya seorang diri. Ajakan itu pun mengungkapkan kebesaran jiwa seorang Simon, bahwa saudara-saudaranya yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten yang sekarang ia pimpin, akan dengan bulat hati dan pikiran jernih melangkah bersamanya membangun Ina Rai Malaka. Beliau sendiri pun mengatakan “Saya tidak anti kritik! Silakan mengkritik bila ada sesuatu yang salah!”. Ungkapan ini memperlihatkan suatu ‘keterbukaan sekaligus kerendahan hati’ yang telah menjadi budaya para akademisi di dunia pendidikan tinggi.

Tetapi, menurut saya, ajakan dan himbauan itu sangat normatif, lazim diucapkan para pemimpin baru di mana pun juga, dari tingkat atas hingga bawah. Mestinya konkret, to the point, biar terasa “menghentak menyentil” untuk memberi tanda mulainya suatu “era baru” dalam kepemimpinannya! Apa dan bagaimana “to the point”-nya itu?

Tulisan berjudul: ”SALIBKALAH DIA!” ini, coba mengurai konkretnya ajakan dan himbauan itu, agar menjadi terang-benderang bagi semua, baik bagi seluruh rakyat “akar rumput Malaka” dari bukit hingga ke lembah maupun bagi para intelektual Malaka, terutama bagi para politisi, baik politisi benaran yang duduk di kursi Dewan Malaka yang terhormat maupun politisi-politisi dadakan yang muncul ketika pilkada terselenggara.

Benyamin Mali

SALIBKANLAH DIA!

Tulisan ini mau saya awali dengan asal-usul seruan dan/atau teriakan “Salibkanlah Dia” itu dalam TRI HARI SUCI dan HARI RAYA PASKAH yang baru saja kita rayakan di awal April. Kiranya teriakan khas Hari Jumat Agung: “Salibkanlah Dia!” dari orang-orang Yahudi bersama imam-imam kepala, kaum Farisi, dan para ahli Taurat berjenggot putih kepada Pilatus untuk memintanya menyalibkan Yesus, masih hangat dalam memori kita.

Dari kisah Injil Yohanes, kita tahu bahwa teriakan bangsa Yahudi “Salibkanlah Dia… Salibkanlah Dia…!” berhasil melumpuhkan alasan Pilatus untuk tidak menghukum Yesus: “…aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada-Nya” (Yoh 19:4); dan pada ayat 6, Pilatus berkata menyerah: “Ambillah Dia dan salibkanlah Dia; sebab aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada-Nya” (Yoh 19:6). Dan Yesus pun akhirnya benar-benar disalibkan: “Sambil memikul salib-Nya, Ia pergi ke tempat yang bernama Tempat Tengkorak, yang dalam bahasa Ibrani disebut Golgotha. Dan di situ Ia disalibkan…” (Yoh 19:17-18). Penyaliban ini memenuhi nasihat dan/atau ramalan imam agung Kayafas: ”Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa.” (Yoh 18:14).

Seluruh drama penderitaan dan penyaliban Yesus sesungguhnya memenuhi ramalan para nabi dahulu kala, sebagaimana Yesus katakan kepada dua murid Emaus: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya? Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.” (Luk 24:25-27). Dengan demikian tampak jelas bahwa drama sengsara dan penyaliban Yesus itu adalah JALAN yang tidak bisa dihindari, jalan yang harus Yesus tempuh untuk masuk ke dalam KEMULIAAN-NYA. Dengan kata lain, teriakan “Salibkanlah Dia” yang spontan dan tanpa disadari itu adalah penggenapan nubuat para nabi; sengsara dan penyaliban Yesus itu “wajib-hukumnya” untuk dilakukan – kendatipun di luar batas kemanusiaan – agar ada Paskah Kebangkitan, dengannya Yesus masuk ke dalam kemuliaan-Nya, kemuliaan yang sudah diperlihatkan terlebih dahulu dalam peristiwa TRANSFIGURASI di gunung TABOR (Mat 17:1-9) sebelum Yesus dihukum mati.

RELEVANSI “SALIBKANLAH DIA!”

Di atas telah saya katakan bahwa ajakan ‘kerja sama’ dari Dr. Simon Nahak dan himbauan beliau untuk menyudahi semua perdebatan politik lantaran adanya perbedaan pilihan politis dalam Pilkada Malaka, perlu dikonkretkan dengan teriakan “salibkanlah dia … salibkanlah dia!” Jika dalam konteks Yesus, teriakan itu dikumandangkan oleh bangsa Yahudi, maka dalam konteks Malaka, teriakan itu dari rakyat Malaka kepada dua pemimpinnya yang baru. Rakyat Malaka yang mana? Rakyat Malaka yang menghendaki tegaknya keadilan dan kebenaran serta tegaknya supremasi hukum di tanah Malaka.

Tetapi DIA yang mana? Ini harus jelas dan pasti, agar tidak terjadi “salah sangka, salah tuduh, lalu salah tangkap”, sebagaimana biasa terjadi di dunia kepolisian: “orang baik-baik, lantaran ada kemiripan dengan penjahat yang dicari, lalu ditangkap dan dihajar hingga babak belur”. Lalu setelah beberapa lama baru disadari bukan orang ini penjahat yang dicari. Muncul penyesalan tapi sudah terlambat! Orang baik-baik itu sudah ‘bonyok babak belur’ karena dikira penjahat yang dicari. Maka yang dimaksud dengan DIA itu harus jelas dan pasti? Saya lebih cenderung memandang DIA itu sebagai ‘SESUATU’! Silakan menyimak!

DENDAM DAN PERSETERUAN POLITIK

DIA itu pertama-tama adalah DENDAM PERSETERUAN POLITIK PILKADA. Tak bisa dipungkiri bahwa perbedaan pilihan politis Pilkada Malaka 9 Desember telah memecah belah masyarakat Malaka dalam dua kubu yang berseberangan satu sama lain. Yang satu mendukung lalu memilih pasangan calon (paslon) 01, sedangkan yang lain mendukung dan lalu memilih pasangan calon (paslon) 02. Dasar pemikirannya berbeda-beda. Yang mendukung dan memilih paslon 01 memandang junjungannya sebagai Fajar Pembawa Harapan Baru bagi Malaka, dan memandang 02 sebagai pembawa MALApetaKA, lantaran amburadulnya tata kelola pemerintahan selama 5 tahun berkuasa yang diperkuat dengan sinyalemen politik dinasti di Malaka, dan maraknya praktik KKN. Bagi pendukung 01, semua ini bukan isapan jempol belaka tetapi sungguh real terjadi. Itulah sebabnya pergantian pemimpin itu WAJIB HUKUMNYA demi kebaikan Malaka di kemudian hari! Dan para pendukung 02, oleh orang-orang 01, dianggap sebagai orang buta-tuli, yang sengaja tidak mau melihat dan tidak mau mendengar semua itu sebagai realitas politik kekinian di Malaka, dan lebih dari itu tidak menganggap semua itu bakal menjadi malapetaka bagi Malaka di kemudian hari.

Sebaliknya, paslon 02 beserta para pendukungnya memandang paslon 01 sebagai paslon NOL PENGALAMAN KERJA, NOL BUKTI KERJA alias PASLON OMDO (paslon OMong DOang). Kata-kata paslon 01 masih sebatas mengumbar JANJI: “Kami akan buat ini, akan buat itu…akan…akan…akan terus!”; semuanya belum merupakan kenyataan. Jargon keren kampanye 02 adalah “Kami memberi BUKTI bukan JANJI!… Bukan kami yang kampanye tapi BUKTI yang kampanye!” Bila mau ditunjukkan, bukti kami adalah ini dan itu, sana dan sini. Kami sudah punya seabrek bukti, dan rakyat tahu itu.

Bila pendukung 01 bertanya soal KKN (Bawang Merah, Itik, Lampu Sehen, dll), soal Rangkap Jabatan, soal Politik Dinasti, soal Jalan Hotmix, dan lain sebagainya, paslon 02 dan para pendukungnya berkata mengelak, “Tidak ada korupsi di Malaka…Kalau ada korupsi, mana buktinya? Silakan lapor kalau ada bukti! Hampir di seluruh pelosok sudah dibangun jalan, dan seabrek bukti lainnya”.

Singkat kata, politik pilkada telah memecah belah masyarakat Malaka dalam 2 kubu yang menimbulkan perseteruan politik yang tajam hingga hari ini. Event politik sudah selesai, namun masih ada orang-orang yang belum mau “move-on” dari perseteruan itu, kendatipun orang-orang itu terhitung masih punya hubungan keluarga atau bersahabat karib. Hal ini menunjukkan betapa kita memang belum dewasa dalam berpolitik, betapa cara kita berpolitik masih dikuasai perasaan sehingga amat sangat sulit bagi kita untuk menerima kenyataan, bahwa pilkada sudah selesai dengan hasil yang jelas dan legitim (sah secara hukum), dan karena itu, kita harus menerima dengan jiwa besar paslon pemenang pilkada, dan siap medukung kepemimpinannya dengan menunjukkan iktikad baik untuk bekerja sama ” erat guna membangun Malaka.

Itulah sebabnya, menurut saya, dendam dan perseteruan politik inilah yang harus pertama disalibkan dan dikubur. Maka ajakan konkret itu berbunyi, “Salibkanlah DENDAM DAN PERSETUAN POLITIK yang masih terus hidup bagai “api dalam sekam”, yang sewaktu-waktu bisa berkobar menghanguskan Malaka. Lalu, kuburkanlah dendam itu, agar ada KEBANGKITAN di Malaka. Tanpa menyalibkan dan menguburkan dendam dan perseteruan politik itu, niscaya tidak akan terjadi kebangkitan di Malaka. Dan bila demikian, siapa yang rugi? Rakyat dan tanah Malaka sendiri! KITA SENDIRI dan INA RAI MALAKA!

MENTALITAS PENGUASA

Pilkada diselenggarakan untuk memilih PEMIMPIN yang baik dan benar, bukan yang tidak baik sekaligus tidak benar, atau setengah baik dan setengah benar. Pemimpin yang baik dan benar itu adalah pemimpin yang dengan integritas dan profesionalitas dirinya mampu mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk mengerahkan segenap bakat dan kemampuannya bagi pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan. Dengan begitu cita-cita Otonomi Daerah bisa tercapai, entah tahap demi tahap atau sesegera mungkin. Cita-cita apa? KESEJAHTERAAN SELURUH RAKYAT di daerah yang dipimpinnya, lahir dan batin! SELURUH, bukan SEGELINTIR! Bahkan lebih dari itu, bukan saja kesejahteraan dan kemajuan RAKYATnya, melainkan juga kemajuan WILAYAHnya dan kemajuan PEMERINTAH-nya, mengingat nama MALAKA berarti TIGA: RAKYAT, WILAYAH, dan PEMERINTAH. Ketiganya merupakan satu-kesatuan yang saling mengadakan, saling mengartikan, dan saling mengandaikan. Good Governance dan Good Government menjadi dasar kemajuan wilayah dan kesejahteraan rakyat. Itulah sebabnya mengapa REFORMASI BIROKRASI merupakan suatu ‘keharusan-konstitusional’, suatu prasyarat mutlak bagi kemajuan Otonomi Daerah.

Lantaran orang-orang yang dipimpinnya itu MANUSIA, BUKAN BINATANG, dan sebagai manusia, mereka punya akal budi, hati, dan perasaan, maka pemimpin yang baik dan benar selalu berupaya untuk memahami mereka sesabar-sabarnya. Untuk yang akalnya tidak “jalan” meskipun pendidikannya setinggi langit, bahkan kalau jalan pun sering oleng ke kiri dan ke kanan, pemimpin yang baik dan benar memberi mereka ‘pencerahan’ (enlightenment). Bukannya kesal, lalu marah-marah, dan main bentak, lalu menyuruh bersumpah di jalanan umum. Yang hatinya ‘membatu’ hingga mempengaruhi akalnya dan membuatnya ‘kepala batu’ dan ‘kepala angin’, pemimpin yang baik dan benar dengan sabar dan tenang memberi mereka ‘penyadaran’ (conscientization—konsientisasi). Begitu seterusnya! Mungkin dari sanalah lahir ungkapan yang terkenal di masyarakat: “KAMI BUTUH PEMIMPIN, BUKAN PENGUASA”.

Seorang PENGUASA lain lagi penampilannya. Ia tampil layaknya SUPERMAN yang tahu segala dan mampu segala. Bawahannya betul-betul “bawahan”, setara “office boy”. Dari ‘bawahan’ dituntut “taat, patuh, tunduk SEBONGKOK-BONGKOKNYA. TOTAL dan MUTLAK! Mengapa? Karena semua yang dikatakan dan dirancangnya tidak ada yang salah. SEMUA BENAR. SEMUA BAIK ADANYA persis seperti ketika TUHAN Allah menciptakan dunia semesta: “SEMUANYA BAIK ADANYA!” Lebih dari itu ialah daerah yang ada dalam genggaman kekuasaannya dianggapnya sebagai MILIK KEPUNYAANNYA SENDIRI yang dapat dia kendalikan seenak perutnya. Di sini para bawahan dipandangnya sebagai “penggarap-penggarap kebun anggur” yang harus bekerja menurut rancangannya, bukan menurut aturan hukum yang sudah ditetapkan negara.

Konsekuensi lebih lanjut dari seorang PENGUASA adalah ada bawahan yang diangkat dan dilantik sebagai “MANDOR-MANDOR” bagi bawahan tingkat rendahan. Sering kata dan perbuatan/tindakan mandor-mandor ini tidak kurang galaknya dari TUAN BESAR, BAPA RAJA, KAISAR, BIG BOSS, tidak kurang galaknya dari mandor-mandor di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Mengapa? Karena mereka MENIRU perilaku TUAN BESAR agar bisa tetap menjadi MANDOR. Mereka harus bersikap TEGAK LURUS untuk menyenangkan BIG BOSS. Mereka menjadi bapa-ibu CAMAT (CAri selaMAT).

Lahirlah di sini iklim kerja yang penuh perasaan “enggan dan takut”: takut salah dengan konsekuensi kena hukuman, lalu enggan bertindak bebas. Iklim kerja begini melahirkan ‘budaya enggan dan takut’, yang mencetak bawahan-bawahan yang semuanya CAMAT.

Terhadap mentalitas PENGUASA ini, teriakan atau seruan “Salibkanlah dia!” patut dan layak dikumandangkan saban hari dari setiap atap rumah rakyat Malaka. Sesudah itu, disambung dengan seruan atau teriakan “kuburkanlah dia!” dalam-dalam di dalam perut bumi INA RAI MALAKA. Hasil akhir dari itu ialah rakyat Malaka akan menyaksikan PERISTIWA KEBANGKITAN di hari-hari berikutnya.

PENUTUP

Rasanya tulisan refleksif ini ditutup dulu agar tidak menjadi terlalu panjang dan membosankan. Kita akan sambung lagi dalam edisi berikut dengan merefleksikan hal-hal lain yang harus disalibkan, dikuburkan, agar bisa menghasilkan kebangkitan di Malaka. Semoga!