Penting! MK Terbitkan Pengumuman Terkait Kolom Agama di Kartu Keluarga, Rakyat RI Wajib Mendengarkan
6 Januari 2025 0 By Tim RedaksiNKRIPOST.COM – Mahkamah Konstitusi menolak gugatan nomor 146/PUU-XXII/2024 yang meminta penghapusan kolom agama dalam pencatatan kependudukan.
Gugatan tersebut mengacu pada Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.
“Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya,” kata Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan putusan di ruang sidang MK, Jumat (3/1/2024), seperti dilansir dari kompas.com.
MK menyebut pembatasan kebebasan bagi warga negara Indonesia, di mana setiap warga negara harus menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan keniscayaan sebagaimana diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan oleh Konstitusi.
“Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Arief mengatakan bahwa setiap warga negara hanya diwajibkan menyebut agama dan kepercayaannya untuk dicatat dalam data kependudukan.
Dia menambahkan, tidak ada kewajiban hukum lain yang dibebankan oleh negara terkait agama atau kepercayaan yang dipilih, selain kewajiban untuk menghormati pembatasan yang tercantum dalam UUD NRI Tahun 1945.
MK menegaskan bahwa dalam amanat UUD NRI 1945, tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dianggap sebagai kebebasan beragama.
Hal ini juga bertentangan dengan ideologi bangsa.
“Dengan demikian, dalil para pemohon mengenai anggapan inkonstitusional Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah dimaknai Mahkamah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2016, adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujarnya.
Dalam perkara 146/PUU-XXII/2024, para pemohon tak hanya meminta agar kolom agama dihapus atau dianggap tidak ada dalam kartu keluarga.
Mereka juga meminta agar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga bisa mengakomodasi pernikahan untuk orang-orang yang tidak memeluk agama atau kepercayaan tertentu.
Mereka meminta agar Pasal 27 Undang-Undang 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD NRI 1945 selama tidak dimaknai sebagai pilihan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama.