Nama Bandar Narkoba Freddy Budiman Kembali Mencuat, Ini Pengakuannya Sebelum Eksekusi Mati

Nama Bandar Narkoba Freddy Budiman Kembali Mencuat, Ini Pengakuannya Sebelum Eksekusi Mati

17 Oktober 2022 0 By Tim Redaksi

KASUS dugaan peredaran narkoba yang menyeret sejumlah anggota Polri, termasuk Irjen Teddy Minahasa, menyorot perhatian publik.

Jenderal bintang dua ini diduga mengedarkan narkoba jenis sabu seberat 5 kg yang merupakan barang bukti hasil pengungkapan kasus narkoba di Mapolres Bukittingi.

Pengungkapan kasus narkoba ini pun membuat warganet mengingat pengakuan gembong narkoba Freddy Budiman yang telah dieksekusi mati pada 2016.

“Jadi ngerti kenapa Freddy Budiman dibikin mati,” twit warganet pada Sabtu (15/10/2022).

Dalam unggahannya, warganet tersebut menyertakan tangkapan layar sebuah berita berjudul “Curhat Freddy Budiman sebelum dieksekusi: Pernah suap personil BNN dan Polri.

” Twit tersebut pun menarik perhatian warganet lain, hingga disukai oleh lebih dari 50.000 pengguna dan diunggah ulang oleh lebih dari 15.400 warganet Twitter.

Lantas, seperti apa pengakuan Freddy Budiman sebelum eksekusi mati?

Dilansir dari Kompas.com (22/3/2021), Freddy Budiman merupakan gembong narkoba yang telah dieksekusi mati di Lembaga Permasyarakatan (LP) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada 29 Juli 2016.

Dia divonis mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat pada 15 Juli 2013 atas kasus kepemilikan 1,4 juta pil ekstasi yang diselundupkan dari China pada Mei 2012.

Sebelumnya, pada Maret 2009, Freddy pernah divonis penjara selama 3 tahun 4 bulan setelah tertangkap memiliki 500 gram sabu.

Setelah bebas, Freddy kembali berurusan dengan aparat pada 2011.

Kala itu, dia ditangkap di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Polisi menemukan barang bukti berupa 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi.

Kasus kepemilikan dan peredaran barang haram itu juga melibatkan anggota Polri, yakni Bripka BA, Kompol WS, AKP M, dan AKM AM.

Atas perbuatannya, Freddy mendapat vonis 9 tahun penjara dan harus mendekam di LP Cipinang.

Tak jera, Freddy kedapatan mengendalikan bisnis narkoba dari balik jeruji besi.

Dia terbukti mengorganisir penyelundupan 1.412.476 butir ekstasi dari China pada Mei 2012.

Perbuatan inilah yang mengantarnya pada pidana mati pada Juli 2016.

Sebelum eksekusi mati, Freddy Budiman pernah mengungkapkan ada keterlibatan oknum Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Bea Cukai dalam peredaran narkoba yang dilakukannya.

Diberitakan Kompas.com (29/7/2016), cerita tersebut disampaikan kepada Koordinator Kontras saat itu, Haris Azhar.

Haris mengatakan, pengakuan Ferdy didapat saat dirinya memperoleh undangan dari salah satu organisasi gereja yang aktif memberikan pendampingan rohani di LP Nusakambangan.

Menurut Haris, Freddy mengaku hanyalah operator penyelundupan narkoba skala besar.

Saat akan mengimpor, Freddy menghubungi berbagai pihak untuk mengatur kedatangan narkoba dari China.

“Kalau saya mau selundupkan narkoba, saya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang yang saya hubungin itu semuanya titip harga,” ujar Haris mengulangi cerita Freddy, di Kontras, Jakarta, Jumat (29/7/2016).

Freddy bercerita, harga narkoba yang dibeli dari China sebesar Rp 5.000.

Oleh karena itu, dirinya tak menolak jika ada titipan harga atau pihak yang mengambil keuntungan penjualan.

Oknum disebut meminta keuntungan dari Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per butir.

“Karena saya bisa dapat 200.000 per butir. Jadi kalau hanya bagi rezeki Rp 10.000-Rp 30.000 ke masing-masing pihak dalam institusi tertentu, itu tidak masalah. Saya hanya butuh Rp 10 miliar barang saya datang,” ucap Haris, menirukan Freddy.

“Dari keuntungan penjualan saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu,” imbuhnya.

Freddy pun mengaku kecewa terhadap penegak hukum yang tidak tersentuh.

Pasalnya, dia telah memberikan puluhan miliar kepada oknum selama menyelundupkan narkoba.

“Ke mana orang-orang itu? Saya sudah berikan uang ke BNN Rp 40 miliar, Rp 90 miliar ke pejabat tertentu di di Mabes Polri,” aku Freddy.

“Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang dua di mana si jenderal duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apa pun,” pungkas Freddy.

(NKRIPOST/Kompas)