Ini Kisah Mun’im Idris, Ahli Forensik Pengungkap Tembakan Mematikan Ditje, Marsinah serta Nasruddin
20 Juli 2022NAMA ahli forensik Mun’im Idris pernah mewarnai pemberitaan media massa terkait kasus-kasus kematian yang berimplikasi hukum.
Abdul Mun’im Idris yang lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 25 Mei 1947, sering menjadi saksi ahli di persidangan untuk kasus pembunuhan serta orang yang dipercaya membedah mayat korban pembunuhan.
Keterangannya menjadi rujukan dan dikutip oleh hampir semua pemberitaan.
Meski sudah meninggal pada 27 September 2013 silam di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), namun karyanya dalam mengungkap berbagai kasus sering jadi perbincangan.
Setidaknya ada tiga kasus pembunuhan besar yang pengungkapannya melibatkan keahlian Mun’im, seperti ditulis dalam buku terakhirnya, “Indonesia X Files, Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno sampai Kematian Munir,” yang diterbitkan Juli 2013.
Kasus pertama, kematian peragawati kondang Ditje Buadiarsih. Pada 8 September 1986, Ditje ditemukan tewas di dalam mobil dengan lima luka tembak di tubuhnya.
Peristiwa itu terjadi di Jalan Dupa, Kalibata, Jakarta Selatan pada pukul 22.00 dalam mobil Honda Accord bernomor B 1911 ZW yang mesinnya masih hidup.
Ada lima luka tembakan senjata api di tubuh Ditje, yakni di bagian bawah telinga kanan, bahu, leher, ketiak kanan, dan punggung kanan. Namun, di dalam mobilnya tidak ditemukan bekas tembakan.
Hal inilah yang kemudian menyulitkan petugas penyidik. Berita tewasnya Ditje lantas menyeruak di telinga masyarakat, mengingat profesinya sebagai seorang peragawati terkenal.
Dalam kasus ini, mantan pembantu letnan satu di Kesatuan TNI, Muhammad Siradjudin alias Pak De, ditetapkan sebagai tersangka utama. Namun meski telah divonis penjara seumur hidup, Pak De terus membantah tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Kasus kedua, pembunuhan Marsinah. Buruh Marsinah tewas pada pada 8 Mei 1993 yang sering disebut sebagai tanggal kelam dalam sejarah penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Marsinah dikenal sebagai buruh perempuan di PT Catur Putra Surya (CPS), pabrik pembuat jam di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia lantang menyuarakan tuntutan untuk kesejahteraan pekerja.
Pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan di hutan Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur. Namun, hasil olah forensik pada saat itu menunjukkan bahwa Marsinah tewas sejak sehari sebelumnya.
Jasadnya dipenuhi luka-luka dan hasil forensik juga menyatakan bahwa Marsinah sempat diperkosa sebelum kehilangan nyawa.
Hingga saat ini, pelaku kekejaman itu tidak pernah terungkap dan mendapat hukuman yang semestinya.
Kasus penuh rekayasa itu malah menyeret pimpinan di perusahaan tempat Marsinah bekerja, Judi Susanto, sebagai terdakwa.
Sementara hasil visum berlapis-lapis, penyidikan berbelit-belit, argumen hukum dan argumen medis tumpang tindih, belum lagi pendapat masyarakat.
“Kerusakan sedemikian hebat, padahal pangkal kerusakan itu dimulai dari labia minora kiri, sebagai saksi ahli saya berpendapat, kematian Marsinah akibat luka tembak,” tulis dr. Mun’im dalam buku itu.
Ketiga, kasus kematian Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Putra Rajawali Bantaran. Nasrudin ditembak usai bermain golf di Tangerang, Banten. Ia ditembak di pelipis kiri kepalanya oleh beberapa orang yang mengendarai sepeda motor, Sabtu 14 Maret 2009 silam.
Sempat kritis, Nasrudin mengembuskan nafas terakhirnya sehari kemudian pada Minggu (15/3/2009).
Kasus ini membuat gempar karena melibatkan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika itu, Antasari Azhar.
Antasari divonis pengadilan sebagai otak pembunuhan.
Dalam persidangan, muncul nama Rani Juliani mantan caddie golf yang kemudian disebut sebagai motif Antasari mendalangi pembunuhan Nasrudin.
Kepala Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota Kombes Hamidin mengatakan, usai bermain golf di Lapangan Golf Moderland, Kota Tangerang, Nasrudin berada di kursi kiri belakang mobil BMW-nya. Ketika melintasi marka kejut di tepian danau di dekat lapangan golf itu, mobil bergerak lebih lambat.
Tiba-tiba, dua pria mengenakan jaket warna cokelat berkendara dengan sepeda motor muncul dari arah belakang mobil kiri.
“Keduanya berboncengan sepeda motor Yamaha Scorpio warna hijau,” ucap Hamidin, dikutip dari Harian Kompas edisi Minggu (15/3/2009).
Kematian Nasrudin juga tidak luput dari autopsi Mun’im Idris. Dalam proses penyelidikan, polisi ternyata pernah meminta agar Mun’im menghapus data penjelasan jenis peluru yang menewaskan Nasrudin.
“Saya pernah menjelaskan bahwa jenis peluru yang bersarang di Nasrudin memiliki diameter 9 mm, kaliber 0,38 tipe S & W, tapi saat itu diminta dihapus oleh polisi,” tulis Mun’im di halaman 74.
Antasari, akhirnya divonis 18 tahun penjara. Dia pun terus melakukan berbagai upaya hukum demi membebaskan dirinya.
Antasari akhirnya diputuskan bebas bersyarat pada 10 November 2016 setelah melewati dua pertiga masa pidana. Dia bebas murni pada 2017 setelah Jokowi mengabulkan permohonan grasi.
Selain mengupayakan bebas, Antasari hadir di sejumlah acara televisi untuk menekankan dirinya tidak bersalah. Termasuk saat diwawancarai dalam program “Aiman” di Kompas TV, Sabtu (16/1/2016).
Antasari membantah Rani pernah menjadi caddy-nya.
“Rani tidak pernah satu kali pun jadi caddy saya, tapi dikondisikan jadi caddy saya supaya nyambung,” kata Antasari.
Pengungkapan kasus-kasus kematian itu tak lepas dari tangan sang ahli forensik berkacamata lulusan UI itu. Tidak heran, Kapolri Jenderal Timur Pradopo sengaja datang melayat ke RSCM.
Timur mengatakan, Mun’im telah mencetak ahli forensik lainnya.
“Beliau (Mun’im) sudah mendidik dan mencetak ahli forensik yang lain. Beliau merupakan bagian, dari tugas Polri untuk mengungkap kasus-kasus yang lain,” ujarnya di Kamar Jenazah RSCM, Jumat, 27 September 2013 siang.
(NKRIPOST/Kompas TV)