Astaga, Bupati Meranti Tersandung 3 Kasus Sekaligus dengan Nominal Fantastis, KPK: Segini Totalnya….

Astaga, Bupati Meranti Tersandung 3 Kasus Sekaligus dengan Nominal Fantastis, KPK: Segini Totalnya….

7 April 2023 0 By Tim Redaksi

NKRIPOST.COM – KPK mengatakan bahwa Bupati Meranti Muhammad Adil melakukan praktik rasuah pada tiga kasus sekaligus.

Kasus pertama ialah dugaan tindak pidana korupsi berupa pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara negara atau yang mewakilinya tahun anggaran 2022 sampai 2023.

Kedua, kasus dugaan korupsi penerimaan fee jasa travel umrah.

“Dan dugaan korupsi pemberian suap pengondisian pemeriksaan keuangan pada 2022 di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Meranti,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat (7/4) dini hari, Dikutip dari JPNN.

Alexander mengatakan tim KPK mengamankan 28 orang dari kegiatan operasi tangkap tangan itu pada Kamis (6/4) sekitar jam 21.00 WIB.

Penangkapan dilakukan di empat lokasi berbeda, yaitu di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Siak, Kota Pekanbaru, dan Jakarta.

Para pihak yang diamankan berasal dari pejabat di Pemkab Meranti, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan swasta.

Namun, KPK saat ini baru menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu Bupati Meranti Muhammad Adil, Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti Fitria Nengsih, dan Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau M Fahmi Aressa.

Mengenai konstruksi perkara, Adil diduga memerintahkan para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk melakukan setoran uang yang sumber anggarannya dari pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GU).

Masing-masing SKPD yang kemudian dikondisikan seolah-olah adalah utang pada MA.

Besaran pemotongan UP dan GU ditentukan Adil dengan kisaran 5-10 persen untuk setiap SKDP.

Selanjutnya setoran UP dan GU dalam bentuk uang tunai dan disetorkan pada Fitria yang menjabat Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti.

“Setelah terkumpul, uang-uang setoran tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan MA (Muhammad Adil), di antaranya sebagai dana operasional kegiatan safari politik rencana pencalonan untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Riau pada 2024,” kata Alex.

Sekitar Desember 2022, Adil menerima uang sejumlah sekitar Rp 1,4 miliar dari PT Tanur Muthmainnah (TM) melalui Fitria yang bergerak dalam bidang jasa travel perjalanan umrah.

Pemkab Meranti memenangkan PT TM untuk proyek pemberangkatan umrah bagi para takmir masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti.

Selain itu, Adil diduga mengondisikan proses pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti pada 2022 mendapatkan predikat baik sehingga nantinya memperoleh wajar tanpa pengecualian (WTP).

Adil bersama-sama Fitria memberikan sekitar Rp 1,1 miliar pada M Fahmi Aressa selaku Ketua Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Riau.

Sebagai bukti awal dugaan korupsi yang dilakukan Adil, yang bersangkutan menerima uang sekitar Rp 26,1 miliar dari berbagai pihak.

“Tentunya hal ini akan ditindaklanjuti dan didalami lebih detail oleh tim penyidik,” kata dia.

Adil sebagai penerima suap melanggar pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, Adil juga sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Lalu, Fitria sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Kemudian, Fahmi sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(Yar/Sis)